Penyelamat Kusta Dari Bontomangiring

Sekitar delapan puluh menit berkendara ke arah timur laut dari Kota Bulukumba, terdapat cerita tentang masyarakat yang membangun sinergi dalam penanggulangan kusta dan konsekuensinya. Sepanjang perjalanan, mata kita akan dimanjakan dengan hamparan hijau pegunungan, ternak yang dilepas bebas, serta keramahan penduduk desa, akan membawa kita menuju Desa Bontomangiring, sebuah tempat yang menjadi titik awal perwujudan masyarakat inklusif.

Tangan dingin seorang kepala desa bernama Mohamad Zain yang menjabat sejak 2014 lalu, menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak yang bermimpi tentang membangun desa yang maju, mandiri, dan berdaya dalam semangat kebersamaan. Kepemimpinannya yang inspiratif telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek, mulai dari peningkatan ekonomi, infrastruktur, hingga pemberdayaan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas dan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK). Zain telah telah memfasilitasi mereka melalui peraturan desa yang menjamin penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak bagi kelompok rentan. Capaian ini menjadi teladan bahwa dengan visi yang jelas dan komitmen yang kuat, desa dapat tumbuh menjadi pusat kemajuan yang berkelanjutan.

Kemampuannya dalam merangkul dan memobilisasi semua elemen masyarakat, juga terdengar sampai tingkat Kabupaten. Dalam upaya penanggulangan kusta, Zein dan timnya menyusuri rumah-rumah warga, memantau kesehatan, serta memberikan edukasi untuk mengurangi stigma dan diskriminasi yang seringkali dihadapi oleh penyintas kusta. Sebagai hasilnya, desa ini berhasil mengurangi kasus kusta baru, dari delapan kasus pada tahun 2023, menjadi hanya dua kasus pada 2024. Pencapaian ini tentu tidak diraih secara instan, terdapat juga peran Puskesmas Salassae, kader kesehatan, perawat desa, dan kelompok difabel desa “Maju Jaya”, yang sejak tahun lalu bekerja tanpa ragu untuk melaksanakan proyek zero leprosy.

Belum lama ini Muhammad Zain juga terlibat dalam rapat koordinasi untuk evaluasi pelaksanaan tindakan preventif dan respon penyakit di tingkat kabupaten. Kegiatan tersebut melibatkan organisasi pemerintah daerah, Puskesmas, dan lintas sektor lainnya. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Zain untuk menyampaikan perkembangan Desa Bontomangiring sebagai desa ramah kusta dan disabilitas, sebuah gagasan yang diprakarsai oleh NLR Indonesia. “Saya merasa bersalah jika tidak ikut andil dalam mengembangkan desa inklusi yang ramah bagi semua”, ungkap Zain. Bagi beliau, setiap warga desa berhak merasa aman dan diterima, tanpa ada lagi stigma atau diskriminasi.

Melalui dukungan pendanaan yang berikan, Pemerintah Desa Bontomangiring bersama dengan PERMATA Bulukumba telah diarahkan untuk memetakan sumber daya yang dimiliki oleh desa, melakukan kajian kebutuhan OYPMK, memastikan tersedianya dukungan dan fasilitas kesehatan yang memadai, menyelenggarakan kampanye sosial yang bertujuan mengurangi stigma, serta meningkatkan keterampilan ekonomi melalui kegiatan pertanian bagi kelompok difabel desa. Selebihnya, mereka juga mampu membuka peluang kolaborasi lintas sektor guna memperluas dampak program.

Kisah Ibu Diah, penyintas kusta dari Bontomangiring juga bisa menjadi bukti atas perubahan sosial yang terjadi. Ia mengingat masa-masa sulit ketika dirinya dikucilkan, bahkan dilarang untuk membuat minuman oleh tetangganya, karena dianggap bisa menularkan penyakitnya. “Penduduk desa mulai sadar tentang kusta, tetangga sudah tidak lagi membicarakan saya” ujarnya penuh syukur. Diah, menyaksikan sendiri bagaimana edukasi perlahan-lahan mengubah pandangan masyarakat sekitar. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Riska, perawat desa yang juga menjadi bagian penting dari perjuangan ini. Riska banyak menceritakan tentang pengalamannya dalam merujuk dan mendampingi suspek kusta. Ia juga membagikan tantangan yang kerap dihadapi petugas Puskesmas dalam mendiagnosis kusta. “Penegakan diagnosa masih menjadi tantangan petugas, mereka masih ragu jika hanya melihat bercak” kata Riska. Puskesmas sering harus merujuk pasien ke kota untuk pemeriksaan laboratorium. Meski jarak dan fasilitas menjadi kendala, hal ini tak mengurangi semangatnya untuk mendampingi setiap kasus dan memastikan mereka mendapatkan penanganan yang layak.

Desa Bontomangiring kini telah berubah menjadi desa memberdayakan, terutama bagi penyandang disabilitas dan orang yang pernah mengalami kusta. Mereka dapat hidup berdampingan tanpa rasa takut atau terasingkan. Zain bersama warga desa lainnya telah menciptakan lingkungan yang tidak hanya aman secara fisik, tetapi juga hangat dan penuh penerimaan. Desa Bontomangiring menjadi saksi bahwa inklusi bukan hanya tentang akses, tetapi tentang kemanusiaan dan penghormatan terhadap martabat setiap individu. Dengan segala perubahan ini, desa Bontomangiring berharap bisa menjadi contoh bagi desa-desa lainnya dalam penanggulangan kusta serta menciptakan lingkungan yang benar-benar ramah bagi semua.

Penulis: Angga Yanuar

Editor: Tim Media
Publisher: Tim Media

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top