Ketua Perhimpunan mandiri Kusta (PerMaTa), Al Kadri, mengungkap bahwa mindset masyarakat masih terpengaruh cerita masa lalu. Akibatnya, terus memicu diskriminasi terhadap orang yang mengalami kusta (OYPMK). Sehingga orang malu untuk melapor maupun mencari pengobatan, sehingga terjadi deformitas yang seharusnya bisa dicegah.
“Mindset yang harus diubah, jangan sampai stigma buruk itu membuat mereka malu mengakui dan malu melapor sehingga terjadinya deformitas,” tegas Al Kadri, 28 Agustus 2024 dalam acara yang digelar di Kantor PerMaTa YDTI.
Menurutnya, stigma tersebut tidak hanya merugikan secara fisik, tetapi juga memperparah kondisi psikologis OYPMK. Ia juga menyoroti kebiasaan di masyarakat, khususnya di Sulawesi, yang masih sering menggunakan kusta sebagai bahan sumpah serapah. “Saya berharap kepada kalian untuk jangan menggunakan kusta sebagai bahan sumpah, ini harus dihilangkan,” ujarnya.
Al Kadri juga mengaitkan stigma dengan kunjungan Miss Supranational Indonesia 2024, Harastha Haifa Zahra, atau Miss Tata, ke Sulawesi Selatan. Menurutnya, kunjungan tersebut tidak hanya menjadi ajang seremonial, tetapi juga membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai isu kusta.
Kehadiran Miss Tata didukung oleh Sasakawa Health Foundation (SHF). Hal ini diharapkan dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap kusta, mengingat pengaruh dan perhatian yang dihasilkan dari keterlibatan publik figur.
“Harapan saya, adanya Miss Supranational bisa menyadarkan masyarakat, karena ini tentu menyedot perhatian,” tutur Al Kadri. Lanjutnya, masyarakat dapat lebih terbuka untuk mempelajari dan memahami isu ini, sehingga stigma yang selama ini melekat dapat perlahan-lahan terhapuskan
Dalam diskusi yang diadakan di akhir kunjungan, Miss Tata berinteraksi langsung dengan OYPMK, berbagi pengalaman, dan mendiskusikan tantangan yang mereka hadapi. Diskusi ini menjadi ajang penting bagi para OYPMK untuk menyuarakan kebutuhan dan harapan mereka, sekaligus memberikan masukan mengenai langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengubah pandangan negatif yang masih ada di masyarakat.
Melalui kegiatan ini, diharapkan ada perubahan nyata dalam cara masyarakat memandang kusta. Dari yang sebelumnya penuh dengan stigma dan prasangka, menjadi lebih inklusif dan mendukung OYPMK untuk mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan tanpa rasa malu atau takut akan diskriminasi.
Dengan adanya kolaborasi antara tokoh publik seperti Miss Tata dan organisasi seperti PerMaTa YDTI, diharapkan edukasi mengenai kusta bisa lebih efektif menyentuh masyarakat luas, sehingga pada akhirnya, stigma yang membelenggu dapat benar-benar dihapuskan.
Editor: Ken Kerta
Publisher: Ken Kerta